[Cerpen] Cerita Seorang Pekerja

DIPERKOSA WAKTU


Matahari mulai menampakkan dirinya meskipun teh belum tertuang di gelas yang berada diatas meja. Seakan memaksa para pekerja memerangi jalanan lebih pagi di hari ini. Tertata rapi sudah sepasang pakaian kerja diatas lantai Rusun yang telah disiapkan semalam oleh ibu dengan hati yang penuh dengan kasih sayang, sebelum ia harus pulang dari Rusunku. Melangkah malas untuk mengambil handuk dijemuran yang ala kadarnya lalu pergi ke kamar mandi, hampir setiap pagi seperti ini.
Setelah merapikan diri, mulailah menyalakan kompor untuk menyiapkan segalanya dan berharap agar sarapan berjalan seperti orang pada umumnya. Teh sudah dituangkan, gula yang hanya tinggal beberapa sendok pun sudah kumasukan kedalam gelas dan bercampur dengan teh. Tapi keinginanku untuk sama seperti orang lain segera hancur ketika aku melihat Magic Jar milikku kosong tak ada sebutir pun nasi. Menjalani hari-hari tanpa nasi memang menjengkelkan.
Setiap pagi seperti ini keada’annya, sampai tega menyemangati diriku sendiri “Semangat kerja, semoga ini adalah hariku” itulah yang kulakukan, miris memang tak memiliki pasangan. Setelah mengunci pintu Rusun pun aku masih harus menghadapi kesulitan, menuruni puluhan anak tangga dari lantai 3 menuju lantai dasar, dan itu pula salah satu alasan mengapa orang tuaku  jarang sekali datang ke Rusunku selain karena memang jauh.

Mulailah waktu dimana setiap pekerja merasa jengkel dengan keada’an seperti ini, Macet. Motor-motor berdesakan mencari jalan pintas agar semakin cepat menuju kantornya, sampai merelakan nyawa kebut-kebutan dijalanan yang macet. Klakson dan ocehan dari arah yang tak terduga selalu bergandengan.
“Tiiin..Tiiit Maju Woi.”
Orang bodoh mana lagi tuhan yang seperti ini, semua orang disana tau bahwa ini sedang macet, definisi anda klakson itu apa? menyuruh pengendara depan anda maju sedangkan didepannya juga terkena macet. Seperti menyuruh kucing menggonggong, tak akan bisa. Hanya bergumam yang bisa kulakukan disa’at-sa’at seperti ini.
Bertarung dengan debu-debu dan asap kendara’an yang hitam, asap itu seraya berkata.
“Berani kotor itu baik, sini nak sini..”
Akupun merasa semakin hari semakin liar jalanan kota ini, hanya untuk menuju ke tempat kerja pun harus merasakan hal seperti ini, memerangi waktu, bertarung dengan jalanan yang liar dan dipaksa menerima ocehan sampah dari orang-orang yang tak sabar dijalanan. Hidup memang kejam.
Sesampainya dikantor, aku melepaskan jaket yang lusuh dan helm motorku yang penuh debu dengan rasa khawatir bahwa hari ini aku akan terlambat. Masuklah aku ke kantor dengan penuh sapa’an dari rekan-rekan kerja sembari melihat jam, sudah kuduga aku terlambat hari ini.
“Terlambatnya keren bung, jamberapa nih.” kata rekan kerjaku sambil tertawa kecil.
“Hidup ini susah bung, kita seperti diperkosa waktu tapi keada’an nggak mendukung.”
Jawabku sambil bercanda.
Nasip pekerja memang tragis, terlambat beberapa menit pun potong gaji, apalagi aku yang terlambat hampir setengah jam ini.
Tanpa memperdulikan dan menyesali keterlambatanku, aku langsung menghidupkan komputer di tempat kerjaku dan langsung menyelesaikan tugas yang kemaren belum terselesaikan olehku. Dengan meneruskan tugasku yang kemaren aku bergumam.
“Bayaran kecil, datang harus tepat waktu, tugas numpuk, deadline seminggu lagi. Ah, dunia memang kejam bagi orang-orang yang tak punya gelar sarjana”
Sedikit demi sedikit kukerjakan tugas yang menurutku tak akan bisa selesai dalam waktu seminggu ini. Tiba-tiba terdengar suara jejak melangkah kedalam ruanganku.
“Selamat pagi pak.” tanya rekan kerjaku.
“iya, pagi.”
 “Bagaimana? Sudah sampai mana pekerja’annya.” tanya bos padaku.
“Ini sudah tahap mengaplikasikan desainnya saja pak.”
“Dari kemaren masih di tahap itu saja, ayo kamu harus berkembang lebih cepat lagi kalau bekerja, jangan lelet.”
“Tapi mendesain ini memang tak mudah pak, jadi saya butuh waktu agar hasil jadi lebih baik, dan juga agar usaha ini bisa dikenal dengan hasil yang bagus dan memuaskan”
“ Iya saya tau, tapi kamu harus bisa bekerja lebih cepat. Kalau kamu kerja separuh-separuh sambil main gedget kapan selesainya. Desain seperti itu juga kan mudah, harusnya kamu bisa lebih cepat.”
“Baik pak, saya bakal bekerja dengan cepat untuk mengaplikasikannya.” Ungkapku, karena aku sadar, sepandai-pandainya karyawan berbicara, akan tetap kalah dengan atasan.
Disini kadang aku merasa seorang desainer benar-benar tidak dihargai. Gaji tidak standart UMR, tugas tak sewajarnya, minta cepat dalam pengerja’an. Belum lagi menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai di tempat kerja, menghadapi macet setiap harinya, Menerima ocehan para pengendara lain, menerima kotoran kendara’an  dan masih banyak pengorbanan yang aku lakukan hanya demi beberapa lembar rupiah saja. Atau memang ini adalah ujian bagi orang yang berusaha aku pun tak begitu faham dengan maksut dan rencana tuhan ini, yang pasti aku ingin pekerja terutama Desainer dihargai dan diperlakukan sepantasnya dengan apa yang mereka berikan pada kantornya.
Waktu pulang sudah tiba, aku segera ceklok lalu pergi meninggalkan kantor. Suasana tak ada yang berbeda dengan sa’at aku berangkat ke kantor, hanya tak ada cahaya matahari yang menyinari saja bedanya. Dengan macetnya, ocehan sampah, dan asap kendara’an pun tetap seperti apa yang aku alami pagi tadi. Inilah hidup seorang karyawan yang diperkosa keada’an, ingin resign tapi masih ada tanggungan, ingin melawan tapi takut dikeluarkan. Sabar.

Sesampainya dirumah, cahaya matahari sudah benar-benar hilang. Aku melangkah menaiki puluhan anak tangga sampai kelantai 3, membuka pintu kamar dan melihat tempat yang berantakan. Menjengkelkan, tanpa perlu ku rapikan tempatku aku pergi kekamar untuk rehat sejenak sebelum mandi, dan berfikir jika segelas kopi dapat menenangkan hari ini. Ya, seperti itulah kehidupanku sehari-hari. Membosankan.

4 comments:

  1. Keterangan pada kalimat pertama "diatas meja" seharusnya menjadi"di atas meja" karena merupakan nama tempat
    Kata "Rusun" seharusnya "rusun" karena tidak diikuti nama rusunnya ( seperti Rusun Kota Baru, Rusun Ceria, dsb)
    Kalimat "Selamat pagi pak" seharusnya "Selamat pagi, Pak" karena kata "pak" dalam kata tersebut merupakan sapaan.

    Itu beberapa masukan dari saya. Semoga berguna untuk karya selanjutnya.
    Di sisi lain, cerpen ini dapat menghibur saya dan mengajak saya untuk berpetualang bersama tokoh di dalamnya. Saya tunggu karya selanjutnya! 😄

    ReplyDelete
  2. cari perusahaan baru yg bisa menghargai desain itu sendiri, karena desain itu seni ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seni itu mahal hehe, Semoga pemeran utama di cerita ini tau. hehehe

      Delete