Kreativitas Dan Perkembangan Zaman [Seni] - Salman Faridzi


KREATIVITAS DAN PERKEMBANGAN ZAMAN


Mengenai Kreativitas, pada jaman ini banyak sekali kreator-kreator muda yang menciptakan karya-karya yang luar biasa dalam bidang seni, seperti Seni Rupa, Seni Kaligrafi, Seni Arsitektur dan masih banyak lagi. Karena di era ini, tak bisa kita menjauhkan seni dalam kehidupan sehari-hari. Seperti contohnya ketika kalian berada di rumah atau di dalam ruangan tertentu, barang-barang yang kalian lihat atau kalian miliki adalah bentuk dari karya seni, seperti Ukiran, Tembok, Kasur, Pot Bunga dan masih banyak seni yang lain yang pasti kalian miliki.
Namun banyak sekali pandangan menurut hukum-hukum yang membahas mengenai seni, seperti halnya dengan seni rupa dan begitu juga mengenai kesenian lainya seperti musik dan pertunjukan misalnya. Dalam buku “Dari Khazanah Dunia Islam” karya dari seniman sastra indonesia Ali Audah, dituliskannya seperti demikian.


“Dalam hal ini juga tidak sedikit orang mengemukakan argumen-argumen keagama’an yang sifatnya melemahkan kreativitas, sehingga orang yang merasa ragu tidak ingin terjun ke dalam kegiatan ini”
Menurut saya apa yang dituliskan itu realita sa’at ini, dimana kreativitas dilemahkan oleh argumen-argumen tertentu yang sifatnya menganggap bahwa kreativitas ada suatu batas-batas tertentu dalam menjalaninya. Kadang jika aku membahas suatu karya atau seni menyangkut pautkan pada hukum atau agama, itu sedikit berat dan menakutkan, karena sensitifitasnya sangatlah tinggi jika mengenai hukum dan agama. Maka dari itu saya selalu membaca buku-buku karya sastrawan  yang membahas hal serupa dahulu lalu menulis ulang dengan tambahan pendapat yang aku punya.


Seperti dijelaskan dalam buku “Dari Khazanah Dunia Islam” dalam bab Kreativitas Versus hukum halaman 44-45.
“Kita tidak melihat sejarah pada masa itu (masa kenabian), dan disekitar kawasan itu, ada corak kesenian lain yang lebih menonjol daripada puisi, yang memang mendapat tempat tersendiri pula dalam hati Rasulullah, sehingga dalam menanggapi sajak-sajak Umayyah bin Abi’s-Salt beliau berkata, bahwa “Sajaknya sudah beriman tapi hatinya tetap kufur”. Sedang kegiatan lain, seperti pembuatan dan penyimpanan patung dan lukisan, bila hanya untuk pemuja’an dan ritus-ritus keagama’an yang justru menjadi pangkal syirik. Jadi kalau di tempat itu dan pada waktu itu kegiatan semacam ini dilarang, kita dapat mengerti. Setiap manifestasi ke arah itu oleh masyarakat diartikan lain, yang samasekali tak ada hubungannya dengan seni.”

Aku sangat setuju dengan pandangan yang luas seperti ini, Agama itu universal dan abadi bukan? Tetapi yang menyangkut kebudaya’an dan kesenian dapat berubah-ubah. Biarlah agama berkembang, kecuali akidah dan syari’atnya. Mudahnya seperti ini, kita hidup dijaman yang sudah maju, dengan banyaknya teknologi dan perkembangan zaman ini jika kita hanya stuck atau berhenti dimasa kenabian dulu, mungkin kita bakal menjadi manusia yang primitif tak mengerti teknologi, informasi dan juga karya seni yang dapat pula memajukan suatu bangsa dan agama. Dan lagi-lagi saya setuju dengan pendapat dalam buku yang sama “Dari Khazanah Dunia Islam” yang menjelaskan dan membawa kita melihat sejarah pada waktu itu, bahwa Rasulullah diutus pertama-tama bukan untuk mengurus dan membawa konsep kesenian, tapi untuk merombak suatu sistem masyarakat dari yang politeistik dan tidak mempunyai nilai-nilai moral yang tinggi, kepada ajaran-ajaran tauhid dan akhlak, dengan resiko besar menghadapi berbagai macan tantangan, baik fisik maupun mental. Dalam buku itu juga dijelaskan mulai berkembangnya kebudaya’an dalam dunia islam mulai bersemarak pada masa Dinasti Bani Umayyah di Damsyik, pada masa Bani Abbas yang berpusat di Bagdad dan pada masa Islam Andalusia.


Coba kita berfikir lebih luas, bahwa kesenian yang dijalani melalui hati dan maksut dari niatan itu adalah “pure” untuk seni dan memajukan suatu kalangan atau bangsa, mengapa tidak. Karena dari niatlah kita tau apa yang ada didalam maksut pembuatannya. Jika mungkin pembuatan patung disuatu tempat bertujuan untuk penyembahan berhala atau hal-hal negatif lainya, kita bisa menuntut, protes atau sebagainya. Jika memang pembuatan patung adalah sebagai keindahan, seni, dan memajukan suatu kalangan atau bangsa mengapa kita harus mempermasalahkannya, kita juga perlu meng-upgrade diri kita mengikuti perkembangan zaman, dalam aspek kehidupan sehari-hari kita dituntut untuk harus berkembang agar tidak dibodohi oleh orang atau suatu bangsa yang bermaksut untuk menjatuhkan, untuk kemajuan individu atau bangsanya sendiri. Itulah pentingnya Ilmu pengetahuan, termasuk juga dalam kreativita seni.
Terlepas dari Hukum dan Agama pun nilai-nilai kebudaya’an dan kesenian ini sangatlah penting, sperti yang tadi sudah dijelaskan, untuk memajukan pemikiran anak bangsa mengenai memajukan bangsanya melalui seni. Betapa dahsyatnya pengaruh seni dalam kehidupan sehari-hari, itulah mengapa banyak yang mengatakan Kreativitas itu tak terbatas dan bebas. Bebas dalam artian bahwa apa yang kita lakukan adalah semata-mata karena budaya yang indah, dan nilai-nilai seni yang tinggi, bukan bebas membuat karya seni diperuntukkan untuk hal negatif seperti argumen-argumen mengenai haramnya mengukir patung. Menurutku tak ada yang salah mengenai ukiran patung, yang salah adalah ketika kita berpikir seperti pikiran orang-orang “jahiliyah” mengenai patung.
Tulisanku ini adalah argumen atau pendapatku mengenai kreativitas yang bebas dan tak terbatas mengenai kebudaya’an dan kesenian. Bukan niat hati menyalahkan argumen-argumen orang lain mengenai sebuah karya seni atau budaya. Kembali lagi pada batasan masing-masing menanggapinya. Jika kita membaca buku “Dari Khazanah Dunia Islam”, di cover paling belakang ada keterangan buku tersebut yang beberapa isinya seperti berikut.
“Di antaranya menyatakan perlunya setiap zaman membuat tafsir yang sesuai dengan zamanya, termasuk menafsirkan kembali ayat-ayat dan hadist tentang kebudaya’an. Agama itu universal dan abadi, tetapi sepanjang yang menyangkut kebudaya’an dan kesenian dapat berubah-ubah. Biarlah agama selalu berkembang, kecuali akidah dan syari’atnya. Sebagai seniman, ia mendukung kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi, termasuk dalam seni patung. Keberatan fikih terhadap karya-karya budaya, ia menawarkan jalan tengah sebagai landasan filsafat  kebudaya’an, yaitu akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah). Itulah “batas”nya, bukan fikih. Berpijak kepada akhlak, kebudaya’an tidak akan tergelincir.”
Aku menulis buku ini, bahkan bisa dikatakan mereview buku karangan Ali Audah dengan sedikit berhati-hati, meskipun dalam buku ini mengatakan dengan sangat jelas bahwa pengarangnya sangat mendukung kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi, termasuk dalam seni patung, tapi aku menulis pendapatku dengan samar agar tak bertabrakan dengan orang yang memiliki argumen berbeda. Maksutnya, agar orang yang memiliki pemikiran berbeda bisa paham dan mengerti seperti apa pandangan mengenai kreativitas dengan “hukum” yang berlaku dimata seniman. Dan aku sangatlah setuju dengan apa yang dikatakan beliau, bahwa dengan membatasi diri dengan akhlak mulia, kita tak akan tergelincir.


Terima Kasih buat kalian yang sudah membaca dan semoga memberi komentar positif terhadap apa yang saya tuliskan.
Beberapa dari tulisanku bersumber pada buku karangan Ali Audah yang berjudul “Dari Khazanah Dunia Islam” dan sisanya karangan dan pendapatku sendiri.

1 comment:

  1. Sebelum islam datang, paham keberhalaan telah mengakar kuat dan menjadi mayoritas kepercayaan masyarakat arab. Tabiat manusia yg lemah menjadikan manusia menggambar Tuhan menurut selera mereka sendiri. Logika yg seakan sempurna dapat menimbulkan kepercayaan tetap di hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran agama lain.

    ReplyDelete